Beranda OKI Madira Jalan Panjang Musir Temukan Kampung Halaman

Jalan Panjang Musir Temukan Kampung Halaman

266
0
BERBAGI

Kayuagung, Beritakajang.com – Kisah ini sekelumit kecil saja dari perjalanan panjang Musir bin Salisin (60), warga Desa Jermun Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir yang dipertemukan kembali dengan keluarganya melalui jejaring media sosial setelah 46 tahun tanpa kabar di perantauan.

Tak pelak, kepulangan Musir ke Desa Jermun disambut haru biru dan isak tangis keluarga yang menganggapnya telah tiada. Pulang bersama anak dan menantu, Musir ingin melepas rindu sekalian menghadiri undangan pernikahan keponakannya pada Ahad (31/1) di Desa Jermun, Pampangan OKI.

Musir memulai perjalanan panjangnya sejak usia belia. Akibat himpitan ekonomi, Musir yang kala itu baru berusia 14 tahun nekat meninggalkan kampung halaman merantau ke wilayah pantai timur Kabupaten Ogan Komering Ilir, tepatnya di perkampungan nelayan Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal OKI.

“Sekitar tahun 1975, awalnya bekerja di perkebunan karet. Lalu ikut melaut jadi nelayan di lautan lepas,” kenangnya.

Musir mengungkapkan, kala itu kepergiannya meninggalkan desa tercinta karena dorongan ingin hidup lebih baik. “Cuma 3 tahun di Sungai Pasir, lalu melaut dan tidak pernah pulang,” ujarnya.

Terombang-ambing di lautan hingga ditangkap Australian Coast Guard, petualangan Musir di lautan lepas tak perlu diragukan. Pada 1978, kenangnya, bersama beberapa nelayan dengan kapal motor sederhana mereka berangkat dari pantai timur OKI mengarungi Selat Bangka ke arah Lampung menuju ke Selat Sunda.

Pada hari itu, kisahnya kapal yang mereka tumpangai goyah karena badai. Kapal yang berukuran 25 kaki (7,6 meter) itu dipenuhi dengan ikan tangkapan dan perlengkapan berlayar, seperti bahan bakar serta umpan.

Setelah beberapa pekan melaut, sebenarnya mereka berencana kembali setelah mendapatkan hasil tangkapan, namun mereka terjebak hujan badai. Di tengah badai, mereka harus bertahan. Musir muda mulai mabuk laut, muntah-muntah, menjerit dan akhirnya menangis karena ketakutan.

Sementara sang nahkoda, tuturnya, tetap duduk, mencengkeram kemudi dengan erat, bertekad untuk menavigasi badai yang semakin kuat sehingga kapal kayu itu terhempas ke tengah laut.

Bayang kampung halaman, datang bersama badai yang mengombang-ambingkan kapal dan isi perutnya. Kala itu, kenangnya lagi, peralatan navigasi belum secanggih saat ini. Melaut hanya mengandalkan nyali dan ilmu falak (perbintangan) yang dia peroleh dari sekolah rakyat (SR) warisan Belanda.

Berbulan-bulan lamanya mereka terombang-ambing di lautan. Perbekalan mulai habis. Bahkan mereka sempat memakan ikan mentah dan menadah air hujan agar terhindar dari dehidrasi.

Pagi itu, kenang Musir, setelah semalaman dihempas badai, awan hitam tampak hilang. Mereka tidak menyadari kemana kapal kayu berlabuh hingga sekitar jam 10 pagi, sebuah kapal asing mendekati mereka. Orang-orang berkulit putih tinggi besar menghardik mereka.

Bahasa tentu menjadi kendala. Tak satupun dari mereka memahami makian atau pujian yang disampaikan orang berkulit putih berseragam dengan senjata lengkap itu. Apalagi Musir, pemuda dusun yang hanya tamatan SR (Sekolah Rakyat).

Musir mengenang saat itu mereka sempat ditahan selama dua pekan di daratan yang dia tidak tahu nama tempatnya, hingga akhirnya didatangi tentara Indonesia dan mereka dipulangkan.

Membawa Ikan ke Pasar 16 Palembang, Namun Tak Tahu Jalan Pulang.

Meski sempat tersesat hingga pertabatasan Australia, nyali pelaut Musir tak pernah surut. Setahun setelah kejadian itu, ia kembali mencari kapal nelayan untuk berpetualang.

“Kalau ikut kapal nelayan tidak mau kapal luar negeri. Cari kapal punya orang Indonesia saja biar lebih aman,” terangnya.

Kapal tempat dia bekerja saat itu, ujarnya, cukup besar dengan rute melaut dari Selat Bangka menuju Natuna, Kepulauan Riau. Bekerja di kapal inilah akhirnya membuat Musir menemukan orang tua angkatnya di Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau (saat ini).

“Di Tanjung Balai, saya bertemu orang tua angkat dan menetap disana sampai sekarang,” terangnya.

Musir mengenang sekitar tahun 1984, kapal nelayan yang dia tumpangi pernah berlayar menyusuri Sungai Musi membawa ikan untuk dijual di Pasar 16 Palembang. “Ingatnya waktu itu lewat bawah jembatan Ampera menurunkan ikan di Pasar 16,” kenangnya.

Waktu itu, ujar dia, sempat terbersit untuk minggat dari kapal dan pulang ke kampung. “Tapi tidak tahu jalan pulang, bayangkan pergi tinggalkan dusun umur 14 tahun, apalagi transportasi tidak semudah ini,” ujarnya.

Setelah peristiwa itu, Musir mengaku tidak pernah lagi menginjakkan kaki ke Sumatera Selatan. Puluhan tahun dia menetap di Kepulauan Riau hingga berkeluarga.

Kepada anak cucunya, dia selalu bercerita tentang asal-usulnya dan berharap suatu hari dapat mengajak mereka menengok tanah kelahirannya.

Dipertemukan Status Media Sosial

Abus Roni Ali selaku Kepala Desa Jermun Pampangan adalah orang yang pertama mengetahui keberadaan Musir setelah puluhan tahun menghilang. Melalui komentar di status media social, Abus mengenali Musir.

“Awalnya bertanya apa benar Kades Jermun Pampangan OKI, saya jawab ia. Kemudian dia menyebut beberapa nama warga yang saya kenal dan mengatakan dia (Musir) adalah warga Jermun yang sekarang menetap di Tanjung Balai Karimun Kepulauan Riau,” cerita Abus.

Musir, menurut Abus, banyak menanyakan tetang keadaan di desa dan mengungkap kerinduannya pada kampung halaman. Bahkan sebelumnya, Musir yang sempat jatuh sakit, lekas sembuh setelah mendengar kabar dari tanah kelahirannya.

Di masa pandemi Covid-19 ini, beberapa kali dia ingin mudik namun terhalang pandemi. Hingga akhirnya dapat pulang dengan mengajak anak dan menantunya.

Baju Setelan yang tidak pernah Terpakai

Sebelum merantau dulu, cerita Abus, Musir pernah minta dijahitkan baju stelan. Belum selesai jahitan, Musir telah pergi meninggalkan dusun. Oleh keluarganya, tutur Abus, baju tersebut disimpan rapi, dibungkus plastik, ditaruh dalam lemari.

Saat dia pulang pekan lalu, baju tersebut kembali diperlihatkan oleh keluarganya. Tak selang kakek renta itu tak tahan berurai air matanya. Di usianya yang senja, Musir bersyukur masih diberi kesempatan menginjakkan kakinya ke tanah kelahiran.

Jika pun dia harus pulang, dalam arti sebenarnya, dia merasa ikhlas karena sudah bisa pulang setelah perjalanan yang panjang. [Ron]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here