DIKEJAR UTANG, DIHANTUI MEDSOS:
Resiko Hukum Memviralkan Orang yang Berutang di Media Sosial
Oleh: Aulia Aziz Al Haqqi.SH.,MH.,C.CLE.,CPArb
Praktisi Hukum
PALEMBANG, Beritakajang.com-Sebagai Praktisi Hukum, saya sering menerima pertanyaan dari masyarakat: Apakah sah secara hukum jika saya memposting orang yang berutang namun tidak membayar di media sosial?
Pertanyaan ini wajar muncul mengingat praktik menagih utang dengan cara memviralkan orang yang berhutang di media sosial semakin marak. Identitas, foto, bahkan percakapan pribadi disebarkan secara terbuka dengan dalih sebagai bentuk “teguran” atau “tekanan sosial”.
Namun, perlu ditegaskan bahwa tindakan tersebut sangat berisiko dari sisi hukum. Di satu sisi, hubungan utang-piutang adalah sah sebagai perikatan hukum yang melahirkan kewajiban bagi Debitur (Pihak yang Berhutang) untuk melunasi. Tetapi di sisi lain, memviralkan Orang yang berhutang justru berpotensi menjerat kreditur (Pihak yang memberi Pinjaman) dengan pasal pidana maupun gugatan perdata.
Utang-Piutang dalam Perspektif Hukum
Dalam Hukum Perdata Indonesia, Hubungan utang-piutang tidak hanya dianggap sebagai transaksi ekonomi, tetapi juga Perikatan Hukum yang Menimbulkan Hak dan Kewajiban bagi Para Pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang berbunyi:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.”
Dengan demikian, Utang -piutang pada dasarnya adalah bentuk perjanjian yang menimbulkan konsekuensi hukum. Begitu perjanjian dibuat, baik secara tertulis maupun lisan, debitur (Pihak yang Berhutang) wajib melunasi utangnya kepada kreditur (pihak yang memberi pinjaman) sesuai isi kesepakatan.
Perjanjian Utang-Piutang termasuk dalam kategori Perikatan konsensual, yang artinya Sah Sejak adanya Kesepakatan, Sepanjang memenuhi Syarat Sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Apabila Keempat Syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian utang-piutang sah dan mengikat secara hukum sebagai undang-undang bagi para pihak (asas pacta sunt servanda, Pasal 1338 KUHPerdata). begitu perjanjian utang dibuat, timbul kewajiban hukum bagi debitur untuk melunasi utangnya sesuai kesepakatan. Apabila debitur lalai, maka ia dapat digugat dengan dasar Wanprestasi sesuai Pasal 1243 KUHPerdata.
Langkah hukum yang dapat ditempuh kreditur, antara lain:
1. Somasi (teguran hukum tertulis)
Somasi adalah bentuk peringatan resmi yang diberikan kreditur kepada debitur agar melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu. Somasi umumnya menjadi syarat formal sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan.
2. Gugatan Perdata atas Wanprestasi
Jika debitur tetap tidak membayar, kreditur dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan negeri setempat. Melalui gugatan ini, kreditur dapat menuntut pembayaran utang pokok, bunga, maupun ganti rugi immateriil.
3. Permohonan Sita Jaminan
Untuk mengamankan piutangnya, kreditur dapat meminta pengadilan melakukan sita jaminan atas harta milik debitur, sehingga debitur tidak dapat dengan mudah mengalihkan atau menjual asetnya.
4. Eksekusi Perjanjian dengan Akta Otentik
Apabila perjanjian utang dibuat dalam bentuk akta notaris (akta otentik), maka akta tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, kreditur dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan tanpa harus melalui proses gugatan panjang.
Dengan demikian, instrumen hukum formal tersedia untuk melindungi hak kreditur tanpa harus menggunakan media sosial sebagai alat pemaksa.
Mengumbar Utang di Media Sosial: Jalan pintas yang Berisiko
Praktik “memviralkan” Orang yang berhutang di media sosial sering dianggap jalan cepat untuk menagih. Namun dalam perspektif hukum, hal ini justru membuka pintu jeratan pidana maupun perdata bagi kreditur.
1. Risiko Pidana
Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE
Melarang setiap orang mendistribusikan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Ancaman: 4 tahun penjara dan/atau denda Rp750 juta.
Pasal 310 KUHP Menyebutkan bahwa barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan sesuatu hal, diancam pidana penjara paling lama 9 bulan.
Pasal 311 KUHP Jika tuduhan dilakukan dengan maksud supaya diketahui umum dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, ancamannya lebih berat lagi.
Dengan demikian, Pihak Pemberi hutang yang memposting pihak yang berhutang dapat dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik.
2. Risiko Perdata
Pihak yang berhutang, yang dipermalukan berhak menggugat balik atas dasar Perbuatan Melawan Hukum. Jika terbukti menimbulkan kerugian (materiil maupun immateriil), kreditur bisa diwajibkan membayar ganti rugi.
Analogi Sederhana: Jalan Formal vs Jalan Viral
Saya menganalogikan Ibarat menagih utang adalah mencari jalan menuju tujuan, hukum menyediakan jalan Raya yang Mulus dan Sah, yakni Gugatan, Sita, dan Eksekusi. Sebaliknya, menggunakan Media Sosial sebagai Sarana Menagih utang ibarat menyusuri jalan Tikus yang penuh jebakan: memang lebih cepat menarik perhatian, tetapi berisiko besar terjerat pasal pencemaran nama baik atau perbuatan melawan hukum.
Untuk itu saya Sebagai Praktisi Hukum menegaskan bahwa fenomena “memviralkan orang berutang” di media sosial bukanlah Solusi Hukum. Justru tindakan tersebut dapat berbalik menjerat anda dengan Pasal Pidana Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE maupun KUHP, serta Gugatan Perdata atas Dasar Perbuatan Melawan Hukum.
Utang adalah hubungan hukum yang penyelesaiannya harus melalui jalur hukum formal: Somasi, Gugatan Wanprestasi, hingga eksekusi melalui pengadilan. Debitur wajib Melunasi, Kreditur Berhak Menagih, namun keduanya terikat pada tata cara hukum yang berlaku.
Pesan Saya sederhana: Hutang adalah Kewajiban, Pelunasan Adalah Tanggung Jawab, Penagihan harus dengan cara yang sah, bukan hujatan yang merendahkan marwah.