Palembang, Beritakajang.com – Jejaring Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) gabungan 14 lembaga non-pemerintah yang berasal dari 10 provinsi di Pulau Sumatera, menyampaikan dokumen masukan kebijakan (policy brief) untuk transisi energi Pulau Sumatera di Sekretariat JETP.
Penyampaian masukan kebijakan itu disertai aksi puluhan orang di depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang juga merupakan Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP).
Aksi simpati itu dilaksanakan dengan tujuan untuk memberikan masukan kepada Sekretariat JETP tentang skema pensiun PLTU Batubara di Sumatera, sekaligus dimaksudkan untuk mengabarkan bagaimana dampak dari beroperasinya PLTU Batubara di Pulau Sumatera.
Anggota STuEB Sumiati Surbakti dari Yayasan Srikandi Lestari menyampaikan bahwa dampak kesehatan yang dialami warga di ring satu PLTU Batubara sangatlah serius dan harus menjadi perhatian serta pertimbangan mendasar untuk segera memensiunkan PLTU Batubara di Sumatera.
“Beroperasinya PLTU Pangkalan Susu di Sumatera Utara membuat 333 orang mengalami penyakit kulit, ISPA, hipertensi, paru hitam dan tiroid,” katanya.
Alfi Syukri perwakilan dari LBH Padang yang merupakan jejaring STuEB menyebutkan, tidak hanya Jakarta yang mengalami polusi, daerah sekitar PLTU juga mengalaminya. Salah satunya di Sijantang Koto (Sawahlunto) tempat beroperasinya PLTU Ombilin dari tahun 1996, lalu PLN dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) melakukan cek kesehatan 53 orang murid SD Sijantang tahun 2017 dengan hasil telah menyebabkan 33 orang murid mengalami gangguan fungsi paru.
Dampak kesehatan ini selaras dengan data kesehatan BPS bahwa ISPA selalu masuk penyakit 10 besar di Kecamatan Talawi dan 3 kecamatan lainnya di Sawahlunto.
“Setelah peristiwa tersebut telah diberikan sanksi proper hitam pada tahun 2018. Namun tidak ada sikap yang serius memperhatikan, menanggulangi dan memulihkan kesehatan sampai saat ini (sudah 5 tahun dari sanksi) oleh pihak PLTU maupun Pemerintah Kota Sawahlunto,” jelas dia.
“Bisa dilihat dari tidak adanya informasi tentang kualitas udara (PM 2,5) dan bagaimana SOP untuk menanggulangi kesehatan. Situasi urgent ini membuat PLTU Ombilin harus dipensiunkan dan seluruh masyarakat serta lingkungan secepatnya untuk dipulihkan, karena hak atas kesehatan berkaitan dengan nyawa. Tidak ada harga yang pantas sampai mengorbankan hak atas kesehatan,” tambah dia.
Sementara, Boni Bangun selaku Koordinator Sumsel Bersih menyatakan bahwa aktivitas pembuangan limbah B3 berupa abu (fly ash dan bottom ash) hasil dari aktivitas PLTU Keban Agung diareal terbuka menimbulkan pencemaran udara di sekitar Desa Muara Maung Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. Dampaknya, kesehatan masyarakat dipertaruhkan, terutama gangguan pernapasan.
Ditegaskan pula bahwa PLTU Batubara Tenayan Raya di Pekanbaru Riau menjadi salah satu pencemar utama Sungai Siak yang mengakibatkan nelayan Okura kehilangan mata pencaharian.
Wira Ananda, perwakilan dari LBH Pekanbaru menyatakan bahwa berdasarkan laporan pelaksanaan persyaratan dan kewajiban izin lingkungan PLTU Tenayan Raya periode semester I tahun 2020 hasil pemantauan kualitas air permukaan di perairan sekitar jetty diketahui melebihi baku mutu lingkungan hidup.
Lebih jelas secara keseluruhan, proyek-proyek PLTU Batubara telah menghancurkan sumber kehidupan dan ancaman kesehatan serta keselamatan lingkungan yang dipaparkan lebih jelas dalam dokumen masukan kebijakan (policy brief) yang telah disampaikan Jejaring STuEB kepada perwakilan Sekretariat JETP.
Olan Sahayu selaku Direktur Program dan Juru Kampanye Energi Kanopi Hijau Indonesia yang juga menjadi juru bicara STuEB menyatakan, dua dokumen yang disampaikan ke Sekretariat JETP yaitu pensiunkan segera PLTU Batubara di Sumatera dan demokratisasi energi, seharusnya menjadi dokumen pandu dalam proses penyusunan skema transisi energi yang sedang disusun oleh Sekretariat JETP.
“Transisi energi harus menitikberatkan pada penutupan PLTU Batubara yang terbukti telah menyengsarakan rakyat, dan PLTU juga merupakan kontributor emisi karbon yang memperparah krisis iklim,” kata Olan. (Ines)