Oleh: Hendra Susanto (Pimpinan 1 BPK RI)
Jakarta, Beritakajang.com – Pemeriksaan atas Laporan Keuangan merupakan salah satu tugas mandatory Badan Pemeiksa Keuangan (BPK) sesuai amanat UUD Tahun 1945. Pemeriksaan keuangan dilaksanakan dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah pusat maupun daerah.
Opini tersebut merupakan pernyataan profesional pemeriksa sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kriteria yang digunakan dalam pemberian opini adalah
1) Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP);
2) Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures);
3) Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
4) Efektivitas Sistem Pengendalian Intern (SPI).
Selanjutnya, terdapat empat jenis opini, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Wajar (TW), Tidak Menyatakan Pendapat (TMP).
Opini WTP atau Unqualified Opinion memuat pernyataan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi keuangan secara wajar, dalam semua hal yang material, sesuai dengan SAP. WTP hanya dapat diberikan bila pemeriksa berpendapat bahwa berdasarkan audit yang sesuai dengan standar, penyajian LK telah sesuai dengan SAP, lengkap, konsisten, dan mengandung penjelasan atau pengungkapan yang memadai, sehingga tidak menyesatkan pengguna laporan keuangan.
Opini WDP atau Qualified Opinion memuat penyataan bahwa laporan keuangan menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, realisasi anggaran, perubahan saldo anggaran lebih, posisi keuangan, operasional, arus kas, dan perubahan ekuitas, serta catatan atas laporan keuangan sesuai SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang yang dikecualikan.
Terdapat beberapa parameter Opini WDP, diantaranya terdapat penyimpangan dari prinsip akuntansi yakni terjadi salah saji, dan terdapat pembatasan lingkup pemeriksaan misalnya ketidakcukupan bukti audit. Salah saji yang dimaksud adalah ketika pemeriksa sesuai bukti audit menyimpulkan bahwa terjadi salah saji pada laporan keuangan baik secara individu (salah satu akun) maupun agregat (keseluruhan akun) yang material namun tidak pervasive. Sementara pembatasan lingkup pemeriksaan terjadi bilamana pemeriksa tidak memperoleh bukti audit yang cukup memadai untuk dijadikan dasar opini, tetapi pemeriksa menyimpulkan bahwa dampak yang mungkin terjadi (possible effects) pada laporan keuangan atas salah saji yang tidak terdeteksi adalah material tetapi tidak pervasive.
Sifat pervasive (berpengaruh secara keseluruhan) diantaranya dapat dilihat dari kompleksitas, pengaruh terhadap seluruh komponen laporan keuangan (LRA, Neraca, CALK), proporsinya terhadap laporan keuangan secara keseluruhan, dan persyaratan pengungkapan yang bersifat fundamental.
Opini TW atau Adverse Opinion memuat pernyataan bahwa berdasarkan bukti pemeriksaan yang cukup memadai, pemeriksan menyimpulkan terjadi penyimpangan dari prinsip akuntansi (salah saji) yang ditemukan, baik secara individual maupun agregat, adalah sangat material dan pervasive.
Opini TMP atau Disclaimer Opinion memuat pernyataan bahwa pemeriksa tidak menyatakan pendapat atas LK. Opini ini dapat diterbitkan apabila pemeriksa tidak yakin atau ragu akan kewajaran LK karena pemeriksa tidak dapat melaksanakan audit sesuai standar sebagai akibat pembatasan ruang lingkup audit, pemeriksa berkedudukan tidak independen terhadap audit (pihak yang diauditnya) dan adanya ketidakpastian luar biasa yang sangat mempengaruhi kewajaran LK.
Dalam melaksanakan pemeriksaan BPK berpedoman kepada Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang memberlakukan juga Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang dikeluarkan Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Standar Audit (SA) 706 SPAP menyatakan bahwa dalam laporan pemeriksa dapat ditambahkan penjelasan tambahan berupa paragraf penekanan suatu hal dan paragraf hal lain.
Paragraf penekanan suatu hal adalah suatu paragraf yang tercantum dalam laporan pemeriksa yang mengacu pada suatu hal yang telah disajikan atau diungkapkan dengan tepat dalam laporan keuangan, yang menurut pertimbangan pemeriksa, sedemikian penting bahwa hal tersebut memiliki sifat fundamental bagi pemahaman pengguna laporan keuangan.
Sementara paragraf hal lain adalah suatu paragraf yang tercantum dalam laporan pemeriksa yang mengacu pada suatu hal selain yang telah disajikan atau diungkapkan dalam laporan keuangan, yang menurut pertimbangan pemeriksa, relevan bagi pemahaman pengguna laporan keuangan atas audit, tanggung jawab pemeriksa, atau laporan pemeriksa.
SPKN menyatakan bahwa pemeriksa harus melakukan penilaian risiko atas salah saji material yang mungkin timbul karena adanya kecurangan maupun kesalahan pada informasi dalam laporan keuangan atau data keuangan lain yang secara signifikan terkait dengan tujuan pemeriksaan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya di paragraf pertama ada empat kriteria dalam penentuan opini. Dalam mempertimbangkan keempat kriteria tersebut, pemeriksa juga mempertimbangkan tingkat kesesuaian dan kecukupan pengungkapan laporan keuangan dikaitkan dengan tingkat materialitas yang telah ditetapkan, tanggapan entitas atas hasil pemeriksaan dan pemerolehan surat representasi entitas.
Setelah pemeriksa melaksanakan prosedur audit, masalah yang ditemukan wajib disampaikan kepada entitas dalam bentuk temuan pemeriksaan. Kemudian dilakukan identifikasi masalah yang berpengaruh pada kewajaran laporan keuangan.
Parameter temuan pemeriksaan yang mempengaruhi opini diantaranya terjadi pembatasan ruang lingkup yang berarti pemeriksa tidak dapat menerapkan standar audit (penyimpangan dari standar audit); atau laporan keuangan tidak disajikan sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum dan tidak diterapkan secara konsisten (penyimpangan dari prinsip akuntansi).
Selanjutnya, pemeriksa mengukur salah saji atau potensi kesalahan yang terjadi atas temuan pemeriksaan yang berpengaruh atas opini. Dalam mengukur potensi kesalahan yang terjadi, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah permasalahan yang terjadi berdampak kepada kewajaran seluruh akun atau hanya akun terkait saja. Kemudian, pemeriksa menetapkan apakah potensi salah saji tersebut material dan berpengaruh secara luas terhadap laporan keuangan secara keseluruhan. Selanjutnya, potensi salah saji dibandingkan dengan Materialitas dan Tolerable Misstatement (TM) yang telah ditetapkan.
Tolerable Misstatement (TM) merupakan nilai salah saji yang masih dalam batas tolerasi dan dianggap tidak akan memberikan pandangan / pengarahan yang salah. Pemeriksa mempertimbangkan materialitas kesalahan secara kuantitatif dan kualitatif sebagai dasar penentuan opini.
Dalam pertimbangan materialitas secara kuantitatif kesalahan dinilai berdasarkan angka kuantitatif. Jika total salah saji/potensi kesalahan yang ditemukan lebih kecil dari materialitas dan salah saji pada tingkat akun masing-masing tidak lebih besar daripada TM akun tersebut, maka pemeriksa bisa memberikan opini WTP. Namun, jika total salah saji / potensi kesalahan yang ditemukan lebih besar dari materialitas dan / atau salah saji di masing-masing akun lebih besar dari TM, maka pemeriksa mempertimbangkan untuk tidak memberikan opini WTP.
Opini yang bisa dipertimbangkan adalah WDP (Qualified Opinion), TW (Adverse Opinion), atau TMP (Disclaimer Opinion). Hal tersebut tergantung dari nilai salah sajinya yang mempengaruhi laporan keuangan secara keseluruhan, asersi yang terpengaruh, dan pertimbangan kualitatif yang relevan menurut tim pemeriksa.
Setelah menggunakan pertimbangan kuantitatif, pemeriksa menggunakan juga pertimbangan kualitatif. Contoh pertimbangan kualitatif diantaranya adalah:
1) Pertimbangan apakah kesalahan saji yang terjadi merupakan tindakan kecurangan (fraud);
2) Pertimbangan apakah kesalahan akan mengakibatkan kerugian; dan
3) Pertimbangan persepsi publik terhadap pihak yang diperiksa.
Contoh nyata adalah batas materialitas kuantitatif sebesar Rp100 miliar.
Kasus 1:
Terjadi kehilangan kas karena kecurangan sebesar Rp5 miliar. Walaupun nilai kehilangan kas di bawah nilai materialitas namun apabila penyebabnya kecurangan maka pemeriksa dapat mempertimbangkan memberikan setidaknya opini WDP.
Kasus 2:
Terjadi kesalahan penggunaan anggaran belanja barang untuk membangun gedung (seharusnya menggunakan anggaran belanja modal) sebesar Rp150 miliar. Walaupun nilai kesalahan lebih besar dari nilai materialitas yang Rp 100 miliar, namun pemeriksa tetap dapat memberikan Opini WTP dengan pertimbangan anggaran tidak disalahgunakan, dan pelaksanaan penggunaan anggaran dilakukan secara transparan.
Pembahasan Opini di BPK dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan ketua tim, pengendali teknis, dan hingga penanggung jawab (pengendali mutu) pemeriksaan. Pembahasan opini dapat juga diikuti oleh pejabat struktural dan pemeriksa lain yang ditunjuk oleh Pimpinan BPK untuk mereviu dan memberikan masukan atas usulan opini yang dibuat tim pemeriksa.
Khusus untuk entitas-entitas yang berisiko tinggi dapat dibentuk kelompok kerja untuk melakukan reviu dan memberikan masukan atas usulan opini dari tim pemeriksa. Hasil pembahasan dan penetapan opini tersebut didokumentasikan dalam kertas kerja permeriksaan. (*)